Parpol dan Prospek Demokratisasi di Indonesia[1]
oleh:
Dr Bima Arya Sugiarto[2]
Proses demokratisasi di Indonesia pasca orde baru telah menghasilkan disain sistem politik yang sangat berbeda secara signifikan dengan disain yang dianut selama masa orde baru. Reformasi prosedural dan kelembagaan yang walau dilakukan secara bertahap, telah mengubah landasan berpolitik secara sangat radikal. Sulit untuk ditemukan padanan lain dari kasus negara-negara lain di dunia ini –terutama Negara dengan tingkat kompleksitas permasalahan dan kependudukan seperti Indonesia- ketika dalam waktu yang relatif singkat karakter sistem politik berubah wujud dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya, yaitu dari titik otoritarian ke titik demokrasi liberal. Sistem multipartai yang diterapkan sejak fase awal reformasi kemudian dilanjutkan oleh sejumlah inovasi prosedural lainnya seperti sistem pemilihan presiden langsung, pemilihan kepala daerah langsung dan dibukanya pintu masuk bagi kandidat non partai untuk bertarung dalam pilkada. Terdapat pula kecendrungan bahwa liberalisasi sistem politik ini akan terus bergulir dengan rancangan UU pemilu yang semakin mengarah kepada sistem distrik dan penghapusan nomor urut.
Namun demikian, seiring dengan perubahan-perubahan pada ranah kelembagaan tadi, pesimisme publik terhadap prospek demokratisasi di negeri ini malahan semakin mencolok. Publik mempertontonkan suatu sisnisme yang sangat tajam terhadap sepak terjang para aktor politik. Jika pada fase awal reformasi, fenomena politik di tanah air dicirikan oleh gairah politik publik yang sangat besar terhadap setiap proses politik, seperti pendirian partai dan kampanye pemilu, kini seolah terjadi arus balik dari partisipasi publik. Dari seluruh survey atau jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga, bisa dipastikan bahwa tak ada satupun hasil survey yang menunjukan persepsi publik yang positif terhadap peran parpol misalnya. Seluruh survey menunjukan bahwa parpol hanya dianggap sebagai kendaraan politik belaka dari para aktor politik untuk menuju panggung kekuasaan, ketimbang sebagai lembaga representasi politik yang demokratis.
Makalah ini akan berupaya untuk mengkaji kesenjangan antara proses reformasi kelembagaan dan harapan publik melalui analisis terhadap kiprah partai politik dalam pilkada langsung.
Pilkada dan Demokratisasi Lokal
Pada awalnya, pilkada langsung digulirkan dengan suatu keyakinan kuat baik dari para akademisi maupun politisi bahwa proyek besar demokratisasi di negeri ini harus disokong oleh demokratisasi di tingkat lokal. Untuk itu Pilkada secara langsung adalah jawaban dari kebutuhan untuk mempercepat demokratisasi di tingkat lokal. Diamond (1992) menyatakan bahwa pemerintah di daerah beserta dengan aktor-aktor politik lainnya memiliki peran yang snagat penting dalam untuk akselerasi demokrasi di daerah. Peningkatan kualitas demokrasi di daerah, dianggap akan turut mendorong kemajuan demokratisasi di tingkat nasional. Smith mengajukan sejumlah alasan mengenai pentingnya mendorong demokratisasi di tingkat lokal; Pertama, demokrasi lokal adalah wahana yang paling dekat bagi warga dalam konteks pendidikan politik. Kedua, pemerintah daerah merupakan actor penting yang dapat memainkan fungsi kontrol terhadap pemerintah pusat. Ketiga; tingkat partisipasi politik di daerah kerap kali lebih baik secara kualitatif dan kuantitaif jika dibandingkan dengan tingkat nasional. Keempat, Kinerja dan prestasi pemerintahan di tingkat lokal akan sangat memperkuat legitimasi dan kredibilitas politik dari pemerintah pusat.
Pada perkembangannya, pilkada langsung yang telah dilakukan sejak 2005 di lebih dari 300 kabupaten.kota dan tak kurang dari 20 Provinsi di seluruh Indonesia justru menimbulkan sejumlah persoalan-persoalan baru. Konflik kekerasan, sengketa penghitungan suara, penyalahgunaan wewenang, politik uang dan oligarki partai kemudian tampil sebagai ciri utama dari banyak daerah yang telah melangsungkan pilkada.
Oligarki Partai dan Bandar Politik
Pilkada langsung awalnya diyakini akan mengikis habis praktik oligarki elit partai yang sangat kuat di sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Elit partai memiliki posisi yang sangat menentukan baik dalam tahap pencalonan maupun pemungutan suara. Pada pemilihan melalui DPRD, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemenang akan ditentukan oleh besarnya ”jumlah setoran” dari kandidat kepala daerah kepada elit partai (dalam fase pencalonan) dan anggota DPRD (dalam fase pemungutan suara). Jika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka logika yang kemudian digunakan adalah bahwa ”transaksi” akan langsung terjadi antara kandidat dan rakyat, dan menutup praktik-praktik oligarkis. Namun pada kenyataannya, pilkada langsung ternyata malahan memunculkan sejumlah persoalan-persoalan yang sangat problematik.
Seperti yang terjadi pada era pilkada melalui DPRD, pilkada langsung justru tetap saja menyulut perpecahan internal partai. Pada banyak daerah konflik terjadi karena adanya pembangkangan dari suatu kelompok tertentu dalam partai yang menolak untuk mendukung kandidat yang telah ditetapkan secara resmi oleh partai. Sering juga terjadi kasus ketika kader partai membelot dari partainya untuk kemudian berpasangan dengan kandidat dari partai lain dan bahkan yang bersangkutan menjadi kandidat dari partai lain tersebut. Fenomena ini terjadi karena pada pilkada langsung, faktor popularitas individu menjadi lebih penting ketimbang faktor partai pendukung. Kader-kader partai yang memiliki popularitas yang tinggi di daerah pemilihannya, akan memiliki kepercayaan diri yang sangat besar untuk meraih kemenangan tanpa dukungan partainya.
Hal lain yang sangat mencolok adalah adanya praktik ”jual beli” tiket partai kepada kandidat. Pengurus partai yang memiliki posisi struktural yang strategis kemudian menjadi ’bandar politik’ dan bermain mata dengan para pemodal. Dengan kata lain, hanya kandidat dengan lumbung dana melimpahlah yang akan dijemput oleh para bandar politik di alam partai untuk memasuki kancah kontestasi politik lokal. Menurut informasi yang didapat oleh penulis dari sejumlah kasus pilkada provinsi, harga tiket dari partai bisa mencapai puluhan milyar pada wilayah-wilayah strategis. Dengan demikian, harapan bahwa pilkada langsung akan mengikis praktik oligarki partai menjadi pupus. Hal ini disebabkan karena pada banyak kasus, yang menjadi calon partai adalah bukan kader partai murni, melainkan figur yang memampu menutup biaya kampanye yang tinggi dan menjanjikan patronase politik ekonomi yang menggiurkan kepada pengurus partai. Semakin populernya penggunaan jasa konsultan kampanye dan lembaga survey juga ikut menaikan biaya kampanye ke angka yang cukup fantastis. Sebagai contoh, biaya penyelanggaraan survey atau jajak pendapat awal saja berada ada kisaran angka 200 hingga 500 juta rupiah. Sedangkan umumnya setiap kandidat perlu untuk melakukan beberapa kalai jajak pendapat untuk memonitor tingkat popularitas mereka dikalangan pemilih.
Secara realitas, kandidat tidak mungkin untuk mencukupi pembiayaan pencalonannya seorang diri. Biasanya ia akan mengumpulkan dana dari berbagai pihak sponsor dengan konsesi-konsesi politik-ekonomi yang akan disepakati kemudian. Konsekuensi logis dari pola pendanaan seperti ini tentunya adalah pada derajat independensi sang kepala daerah terpilih terhadap pihak-pihak pemodal. Besar kemungkinan pihak pemodal kemudian akan menjadi pemerintah bayangan dengan ikut menentukan secara informal kebijakan dari kepala daerah terpilih.
Saudagar di Pentas Politik
Liberalisasi yang cukup radikal dari sistem politik Indonesia juga telah mengubah konfigurasi elit pada skala nasional. Politisi dengan latarbelakang pengusaha kini memenuhi struktur kepengurusan partai. Di Partai Golkar, tokoh pengusaha dari Indonesia Timur Jusuf Kalla mengambil alih kendali partai pada kongres 2005. Di partai ini, untuk pertama kalinya seorang politisi berlatar belakang pengusaha, Suryo Paloh, juga dipilih sebagai Ketua Dewan Penasehat. Di Partai Amanat Nasional, posisi ketua umum kini berada di tangan Soetrisno Bachir, pengusaha batik asal pekalongan yang relatif sebelumnya kurang dikenal publik, sedangkan posisi sekjen di pegang oleh Zulkifli Hasan, pengusaha sukses asal Lampung. Posisi sekjen di PDI-P kini juga dipegang oleh Pramono Anung, seorang aktivis politik dengan latar belakang pengusaha di bidang pertambangan.
Studi yang dilakukan mengenai latar belakang anggota parlemen dari tiga partai yaitu Golkar, PDI-P dan PAN memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan prosentasi anggota DPR yang terpilih dari ketiga partai ini yang berlatar belakang pengusaha. (Sugiarto 2006).
Table 1 Latar Belakang Anggota Parlemen 1997-2004
Tabel diatas menunjukan bahwa dalam tiga kali pemilu, yaitu 1997, 1999 dan 2004, politisi berlatarbelakang pengusaha yang terpilih sebagai anggota DPR dari Golkar, PDI-P dan PAN jumlahnya terus meningkat. Jumlah prosentasi penguasaha pada PAN dan PDI-P relatif sama dengan prosentasi peningkatan yang terbesar ada pada PAN. Jika pada Partai Golkar kenaikan jumlah pengusaha diringi oleh penurunan prosentasi dari politisi berlatarbelakang birokrat dan militer, maka pada PDI-P dan PAN, meningkatnya jumlah prosentasi pengusaha terjadi sejalan dengan penurunan prosentasi politisi dengan latar belakang aktivis di ormas atau orsospol.
Studi mengenai latarbelakang politisi yang menempati posisi strategis di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai pada dua partai terbesar di Indonesia, yaitu Partai Golkar dan PDIP pada era reformasi juga menghasilkan temuan serupa. Terjadi peningkatan prosentasi jumlah politisi berlatarbelakang pengusaha yang direkrut oleh ketua umum partai untuk mengendalikan partai.
Table 2 Latar Belakang Pengurus DPP Golkar 2000-2005
Table 3 Latar Belakang Pengurus DPP PDI-P 1998-2005
Pada partai Golkar, kenaikan prosentase politisi dengan latar belakang pengusaha terjadi secara drastis ketika tampuk kepemimpinan partai beralih dari Akbar Tandjung kepada Jusuf Kalla. Sementara dalam kasus PDI-P peningkatan prosentasi pengusaha terjadi relatif secara bertahap sejak tahun 1998. Menariknya, semakin banyaknya pengusaha pada partai ini, juga diringi dengan semakin berkurangnya aktivis partai yang memiliki keterikatan historis dengan partai sebelumnya yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) atau dengan orsospol nasionalis yang dekat dengan PDI seperti GMNI.
Meningkatnya jumlah politisi-pengusaha ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi liberal yang kini diadopsi di Indonesia. Pada iklim politik yang kompetitif, diperlukan dana yang tidak sedikit tidak saja untuk kampanye yang sifatnya individual, tetapi juga untuk membiayai pengelolaan rutinitas partai. Ketua umum PAN Soetrisno Bachir secara gamblang bahkan menyatakan bahwa jika saja 10% dari anggota DPP partai berasal dari pengusaha, maka biaya pengelolaan partai otomatis akan tertutup (Sugiarto 2005).
Survey yang dilakukan oleh The lead Institute dan Indobarometer pada bulan July 2007 juga menunjukan bahwa dominasi pengusaha di pentas politik Indonesia ternyata direspon secara negatif oleh publik. Hanya 2,5 % dari responden yang masih melihat pengusaha sebagai kader pemimpin yang ideal. Artinya menguatnya arus pragmatisme politik di partai politik seperti yang dipertontonkan di ajang kongres partai, pilkada maupun di parlemen, dilihat oleh publik sebagai manuver para politisi-pengusaha untuk mengukuhkan jaringan patronase bisnis dan politiknya.
Figure 2J alur Kaderisasi Ideal untuk menjadi Presiden dan Kepala Daerah
Calon Non Partai dalam Pilkada
Keputusan mahkamah konstitusi yang memberikan ruang bagi tampilnya calon non partai dalam pilkada bukanlah semata keputusan hukum yang dihasilkan oleh proses lobby di tingkat elit. Keputusan ini merupakan simbol dari arus besar yang semakin menguat di tengah masyarakat yaitu kekecewaan publik yang sangat besar atas kinerja parpol dan politisi serta kerinduan akan tampilnya pemimpin-pemimpin alternatif, diluar dari tokoh-tokoh yang selama ini dikenal oleh publik.
Namun demikian, adalah suatu kekeliruan jika memandang bahwa kemunculan calon non partai adalah solusi dari segala problem kepemimpinan politik di Indonesia. Ada sejumlah aspek negatif yang harus dihitung dari skenario kemunculan calon non partai pada seluruh proses konstestasi politik di Indonesia. Pertama adalah dikuasainya Jalur non partai oleh kekuatan-kekuatan lama anti demokrasi. Dalam kontestasi politik liberal, figur lama yang telah dikenal publik bukan tidak mungkin mendapat dukungan elektoral yang kuat jika disokong oleh strategi kampanye yang efektif dan pendanaan yang melimpah. Kedua adalah tampilnya figur-figur populer dan karismatis yang miskin kapasitas politik. Ulama karismatik dan tokoh publik seperti artis dan selebriti lainnya walaupun tidak memiliki jam terbang yang cukup dalam hal jabatan publik dan pengelolaan lembaga kenegaraan sangat mungkin dipilih oleh publik karena modal popularitas yang dimiliki.
Aspek negatif ketiga adalah terjadinya migrasi politik dari kader partai untuk berlaga melalui jalur non partai. Skenario ini terjadi ketika kader partai yang gagal memperoleh ’tiket’ resmi partai dalam pilkada memilih untuk melanjutkan karir politiknya melalui jalur non partai. Jika ini terjadi, artinya keyakinan bahwa dibukanya jalur non partai dalam pilkada akan memberikan dampak positif bagi perbaikan sistem kaderisasi internal partai, menjadi tidak tepat.
Aspek negatif seperti yang dipaparkan diatas semestinya dapat diantisipasi melalui rumusan-rumusan yang ditebar di UU politik. Sistem pengaturan dana kampanye yang jelas dengan sangsi pidana yang tegas dan bukan hanya sekedar administratif, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya praktik ”pencucian uang” dari pengusaha-pengusaha hitam melalui calon non partai pada ajang pilkada. Aturan yang ketat mengenai kriteria non partai atau independen akan mencegah kecendrungan migrasi politik kader partai. Perlu untuk dirumuskan aturan yang mensyaratkan bahwa calon non partai adalah bukan pengurus atau anggota partai dalam periode setidaknya satu tahun sebelum pencalonan diri.. Kampanye publik atau edukasi pemilih yang gencar mengenai pentingnya para pemilih untuk mempelajari jejak rekam kandidat sebeluym menjatuhkan pilihan politiknya juga merupakan salah satu metode untuk mendorong publik memilih pemimpin yang berkualitas.
[1] Disampaikan dalam Training “School of Democracy: Nurcholish Madjid dan Demokrasi Indonesia” di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan 12-13 Desember 2007.
[2] Direktur Eksekutif The Lead Institute Universitas Paramadina.
oleh:
Dr Bima Arya Sugiarto[2]
Proses demokratisasi di Indonesia pasca orde baru telah menghasilkan disain sistem politik yang sangat berbeda secara signifikan dengan disain yang dianut selama masa orde baru. Reformasi prosedural dan kelembagaan yang walau dilakukan secara bertahap, telah mengubah landasan berpolitik secara sangat radikal. Sulit untuk ditemukan padanan lain dari kasus negara-negara lain di dunia ini –terutama Negara dengan tingkat kompleksitas permasalahan dan kependudukan seperti Indonesia- ketika dalam waktu yang relatif singkat karakter sistem politik berubah wujud dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya, yaitu dari titik otoritarian ke titik demokrasi liberal. Sistem multipartai yang diterapkan sejak fase awal reformasi kemudian dilanjutkan oleh sejumlah inovasi prosedural lainnya seperti sistem pemilihan presiden langsung, pemilihan kepala daerah langsung dan dibukanya pintu masuk bagi kandidat non partai untuk bertarung dalam pilkada. Terdapat pula kecendrungan bahwa liberalisasi sistem politik ini akan terus bergulir dengan rancangan UU pemilu yang semakin mengarah kepada sistem distrik dan penghapusan nomor urut.
Namun demikian, seiring dengan perubahan-perubahan pada ranah kelembagaan tadi, pesimisme publik terhadap prospek demokratisasi di negeri ini malahan semakin mencolok. Publik mempertontonkan suatu sisnisme yang sangat tajam terhadap sepak terjang para aktor politik. Jika pada fase awal reformasi, fenomena politik di tanah air dicirikan oleh gairah politik publik yang sangat besar terhadap setiap proses politik, seperti pendirian partai dan kampanye pemilu, kini seolah terjadi arus balik dari partisipasi publik. Dari seluruh survey atau jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai lembaga, bisa dipastikan bahwa tak ada satupun hasil survey yang menunjukan persepsi publik yang positif terhadap peran parpol misalnya. Seluruh survey menunjukan bahwa parpol hanya dianggap sebagai kendaraan politik belaka dari para aktor politik untuk menuju panggung kekuasaan, ketimbang sebagai lembaga representasi politik yang demokratis.
Makalah ini akan berupaya untuk mengkaji kesenjangan antara proses reformasi kelembagaan dan harapan publik melalui analisis terhadap kiprah partai politik dalam pilkada langsung.
Pilkada dan Demokratisasi Lokal
Pada awalnya, pilkada langsung digulirkan dengan suatu keyakinan kuat baik dari para akademisi maupun politisi bahwa proyek besar demokratisasi di negeri ini harus disokong oleh demokratisasi di tingkat lokal. Untuk itu Pilkada secara langsung adalah jawaban dari kebutuhan untuk mempercepat demokratisasi di tingkat lokal. Diamond (1992) menyatakan bahwa pemerintah di daerah beserta dengan aktor-aktor politik lainnya memiliki peran yang snagat penting dalam untuk akselerasi demokrasi di daerah. Peningkatan kualitas demokrasi di daerah, dianggap akan turut mendorong kemajuan demokratisasi di tingkat nasional. Smith mengajukan sejumlah alasan mengenai pentingnya mendorong demokratisasi di tingkat lokal; Pertama, demokrasi lokal adalah wahana yang paling dekat bagi warga dalam konteks pendidikan politik. Kedua, pemerintah daerah merupakan actor penting yang dapat memainkan fungsi kontrol terhadap pemerintah pusat. Ketiga; tingkat partisipasi politik di daerah kerap kali lebih baik secara kualitatif dan kuantitaif jika dibandingkan dengan tingkat nasional. Keempat, Kinerja dan prestasi pemerintahan di tingkat lokal akan sangat memperkuat legitimasi dan kredibilitas politik dari pemerintah pusat.
Pada perkembangannya, pilkada langsung yang telah dilakukan sejak 2005 di lebih dari 300 kabupaten.kota dan tak kurang dari 20 Provinsi di seluruh Indonesia justru menimbulkan sejumlah persoalan-persoalan baru. Konflik kekerasan, sengketa penghitungan suara, penyalahgunaan wewenang, politik uang dan oligarki partai kemudian tampil sebagai ciri utama dari banyak daerah yang telah melangsungkan pilkada.
Oligarki Partai dan Bandar Politik
Pilkada langsung awalnya diyakini akan mengikis habis praktik oligarki elit partai yang sangat kuat di sistem pemilihan kepala daerah melalui DPRD. Elit partai memiliki posisi yang sangat menentukan baik dalam tahap pencalonan maupun pemungutan suara. Pada pemilihan melalui DPRD, sudah menjadi rahasia umum bahwa pemenang akan ditentukan oleh besarnya ”jumlah setoran” dari kandidat kepala daerah kepada elit partai (dalam fase pencalonan) dan anggota DPRD (dalam fase pemungutan suara). Jika pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat, maka logika yang kemudian digunakan adalah bahwa ”transaksi” akan langsung terjadi antara kandidat dan rakyat, dan menutup praktik-praktik oligarkis. Namun pada kenyataannya, pilkada langsung ternyata malahan memunculkan sejumlah persoalan-persoalan yang sangat problematik.
Seperti yang terjadi pada era pilkada melalui DPRD, pilkada langsung justru tetap saja menyulut perpecahan internal partai. Pada banyak daerah konflik terjadi karena adanya pembangkangan dari suatu kelompok tertentu dalam partai yang menolak untuk mendukung kandidat yang telah ditetapkan secara resmi oleh partai. Sering juga terjadi kasus ketika kader partai membelot dari partainya untuk kemudian berpasangan dengan kandidat dari partai lain dan bahkan yang bersangkutan menjadi kandidat dari partai lain tersebut. Fenomena ini terjadi karena pada pilkada langsung, faktor popularitas individu menjadi lebih penting ketimbang faktor partai pendukung. Kader-kader partai yang memiliki popularitas yang tinggi di daerah pemilihannya, akan memiliki kepercayaan diri yang sangat besar untuk meraih kemenangan tanpa dukungan partainya.
Hal lain yang sangat mencolok adalah adanya praktik ”jual beli” tiket partai kepada kandidat. Pengurus partai yang memiliki posisi struktural yang strategis kemudian menjadi ’bandar politik’ dan bermain mata dengan para pemodal. Dengan kata lain, hanya kandidat dengan lumbung dana melimpahlah yang akan dijemput oleh para bandar politik di alam partai untuk memasuki kancah kontestasi politik lokal. Menurut informasi yang didapat oleh penulis dari sejumlah kasus pilkada provinsi, harga tiket dari partai bisa mencapai puluhan milyar pada wilayah-wilayah strategis. Dengan demikian, harapan bahwa pilkada langsung akan mengikis praktik oligarki partai menjadi pupus. Hal ini disebabkan karena pada banyak kasus, yang menjadi calon partai adalah bukan kader partai murni, melainkan figur yang memampu menutup biaya kampanye yang tinggi dan menjanjikan patronase politik ekonomi yang menggiurkan kepada pengurus partai. Semakin populernya penggunaan jasa konsultan kampanye dan lembaga survey juga ikut menaikan biaya kampanye ke angka yang cukup fantastis. Sebagai contoh, biaya penyelanggaraan survey atau jajak pendapat awal saja berada ada kisaran angka 200 hingga 500 juta rupiah. Sedangkan umumnya setiap kandidat perlu untuk melakukan beberapa kalai jajak pendapat untuk memonitor tingkat popularitas mereka dikalangan pemilih.
Secara realitas, kandidat tidak mungkin untuk mencukupi pembiayaan pencalonannya seorang diri. Biasanya ia akan mengumpulkan dana dari berbagai pihak sponsor dengan konsesi-konsesi politik-ekonomi yang akan disepakati kemudian. Konsekuensi logis dari pola pendanaan seperti ini tentunya adalah pada derajat independensi sang kepala daerah terpilih terhadap pihak-pihak pemodal. Besar kemungkinan pihak pemodal kemudian akan menjadi pemerintah bayangan dengan ikut menentukan secara informal kebijakan dari kepala daerah terpilih.
Saudagar di Pentas Politik
Liberalisasi yang cukup radikal dari sistem politik Indonesia juga telah mengubah konfigurasi elit pada skala nasional. Politisi dengan latarbelakang pengusaha kini memenuhi struktur kepengurusan partai. Di Partai Golkar, tokoh pengusaha dari Indonesia Timur Jusuf Kalla mengambil alih kendali partai pada kongres 2005. Di partai ini, untuk pertama kalinya seorang politisi berlatar belakang pengusaha, Suryo Paloh, juga dipilih sebagai Ketua Dewan Penasehat. Di Partai Amanat Nasional, posisi ketua umum kini berada di tangan Soetrisno Bachir, pengusaha batik asal pekalongan yang relatif sebelumnya kurang dikenal publik, sedangkan posisi sekjen di pegang oleh Zulkifli Hasan, pengusaha sukses asal Lampung. Posisi sekjen di PDI-P kini juga dipegang oleh Pramono Anung, seorang aktivis politik dengan latar belakang pengusaha di bidang pertambangan.
Studi yang dilakukan mengenai latar belakang anggota parlemen dari tiga partai yaitu Golkar, PDI-P dan PAN memperlihatkan bahwa terjadi peningkatan prosentasi anggota DPR yang terpilih dari ketiga partai ini yang berlatar belakang pengusaha. (Sugiarto 2006).
Table 1 Latar Belakang Anggota Parlemen 1997-2004
Tabel diatas menunjukan bahwa dalam tiga kali pemilu, yaitu 1997, 1999 dan 2004, politisi berlatarbelakang pengusaha yang terpilih sebagai anggota DPR dari Golkar, PDI-P dan PAN jumlahnya terus meningkat. Jumlah prosentasi penguasaha pada PAN dan PDI-P relatif sama dengan prosentasi peningkatan yang terbesar ada pada PAN. Jika pada Partai Golkar kenaikan jumlah pengusaha diringi oleh penurunan prosentasi dari politisi berlatarbelakang birokrat dan militer, maka pada PDI-P dan PAN, meningkatnya jumlah prosentasi pengusaha terjadi sejalan dengan penurunan prosentasi politisi dengan latar belakang aktivis di ormas atau orsospol.
Studi mengenai latarbelakang politisi yang menempati posisi strategis di Dewan Pimpinan Pusat (DPP) partai pada dua partai terbesar di Indonesia, yaitu Partai Golkar dan PDIP pada era reformasi juga menghasilkan temuan serupa. Terjadi peningkatan prosentasi jumlah politisi berlatarbelakang pengusaha yang direkrut oleh ketua umum partai untuk mengendalikan partai.
Table 2 Latar Belakang Pengurus DPP Golkar 2000-2005
Table 3 Latar Belakang Pengurus DPP PDI-P 1998-2005
Pada partai Golkar, kenaikan prosentase politisi dengan latar belakang pengusaha terjadi secara drastis ketika tampuk kepemimpinan partai beralih dari Akbar Tandjung kepada Jusuf Kalla. Sementara dalam kasus PDI-P peningkatan prosentasi pengusaha terjadi relatif secara bertahap sejak tahun 1998. Menariknya, semakin banyaknya pengusaha pada partai ini, juga diringi dengan semakin berkurangnya aktivis partai yang memiliki keterikatan historis dengan partai sebelumnya yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) atau dengan orsospol nasionalis yang dekat dengan PDI seperti GMNI.
Meningkatnya jumlah politisi-pengusaha ini merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi liberal yang kini diadopsi di Indonesia. Pada iklim politik yang kompetitif, diperlukan dana yang tidak sedikit tidak saja untuk kampanye yang sifatnya individual, tetapi juga untuk membiayai pengelolaan rutinitas partai. Ketua umum PAN Soetrisno Bachir secara gamblang bahkan menyatakan bahwa jika saja 10% dari anggota DPP partai berasal dari pengusaha, maka biaya pengelolaan partai otomatis akan tertutup (Sugiarto 2005).
Survey yang dilakukan oleh The lead Institute dan Indobarometer pada bulan July 2007 juga menunjukan bahwa dominasi pengusaha di pentas politik Indonesia ternyata direspon secara negatif oleh publik. Hanya 2,5 % dari responden yang masih melihat pengusaha sebagai kader pemimpin yang ideal. Artinya menguatnya arus pragmatisme politik di partai politik seperti yang dipertontonkan di ajang kongres partai, pilkada maupun di parlemen, dilihat oleh publik sebagai manuver para politisi-pengusaha untuk mengukuhkan jaringan patronase bisnis dan politiknya.
Figure 2J alur Kaderisasi Ideal untuk menjadi Presiden dan Kepala Daerah
Calon Non Partai dalam Pilkada
Keputusan mahkamah konstitusi yang memberikan ruang bagi tampilnya calon non partai dalam pilkada bukanlah semata keputusan hukum yang dihasilkan oleh proses lobby di tingkat elit. Keputusan ini merupakan simbol dari arus besar yang semakin menguat di tengah masyarakat yaitu kekecewaan publik yang sangat besar atas kinerja parpol dan politisi serta kerinduan akan tampilnya pemimpin-pemimpin alternatif, diluar dari tokoh-tokoh yang selama ini dikenal oleh publik.
Namun demikian, adalah suatu kekeliruan jika memandang bahwa kemunculan calon non partai adalah solusi dari segala problem kepemimpinan politik di Indonesia. Ada sejumlah aspek negatif yang harus dihitung dari skenario kemunculan calon non partai pada seluruh proses konstestasi politik di Indonesia. Pertama adalah dikuasainya Jalur non partai oleh kekuatan-kekuatan lama anti demokrasi. Dalam kontestasi politik liberal, figur lama yang telah dikenal publik bukan tidak mungkin mendapat dukungan elektoral yang kuat jika disokong oleh strategi kampanye yang efektif dan pendanaan yang melimpah. Kedua adalah tampilnya figur-figur populer dan karismatis yang miskin kapasitas politik. Ulama karismatik dan tokoh publik seperti artis dan selebriti lainnya walaupun tidak memiliki jam terbang yang cukup dalam hal jabatan publik dan pengelolaan lembaga kenegaraan sangat mungkin dipilih oleh publik karena modal popularitas yang dimiliki.
Aspek negatif ketiga adalah terjadinya migrasi politik dari kader partai untuk berlaga melalui jalur non partai. Skenario ini terjadi ketika kader partai yang gagal memperoleh ’tiket’ resmi partai dalam pilkada memilih untuk melanjutkan karir politiknya melalui jalur non partai. Jika ini terjadi, artinya keyakinan bahwa dibukanya jalur non partai dalam pilkada akan memberikan dampak positif bagi perbaikan sistem kaderisasi internal partai, menjadi tidak tepat.
Aspek negatif seperti yang dipaparkan diatas semestinya dapat diantisipasi melalui rumusan-rumusan yang ditebar di UU politik. Sistem pengaturan dana kampanye yang jelas dengan sangsi pidana yang tegas dan bukan hanya sekedar administratif, dapat mengurangi kemungkinan terjadinya praktik ”pencucian uang” dari pengusaha-pengusaha hitam melalui calon non partai pada ajang pilkada. Aturan yang ketat mengenai kriteria non partai atau independen akan mencegah kecendrungan migrasi politik kader partai. Perlu untuk dirumuskan aturan yang mensyaratkan bahwa calon non partai adalah bukan pengurus atau anggota partai dalam periode setidaknya satu tahun sebelum pencalonan diri.. Kampanye publik atau edukasi pemilih yang gencar mengenai pentingnya para pemilih untuk mempelajari jejak rekam kandidat sebeluym menjatuhkan pilihan politiknya juga merupakan salah satu metode untuk mendorong publik memilih pemimpin yang berkualitas.
[1] Disampaikan dalam Training “School of Democracy: Nurcholish Madjid dan Demokrasi Indonesia” di Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, Kalimantan Selatan 12-13 Desember 2007.
[2] Direktur Eksekutif The Lead Institute Universitas Paramadina.